Orang dalam vs orang baru

Konon katanya zaman sekarang ga punya orang dalam, ga bisa jadi apa-apa. Macam-macam administrasi yang rumit dan berkelit bisa dipercepat dengan adanya orang dalam. Mau masuk seleksi macam-macem bakal gampang kalau ada orang dalam. Tapi itu sih dulu, ya ga si? as a young generation, I believe that we are getting better…

Kemarin abis ngobrol sama temen-temen, btw kenapa sekarang gw jadi seneng ngobrol ya? dulu rasanya males banget ngobrol dan semua pertanyaan udah cukup dijawab sama diri gw sendiri. Makin tambah umur, ternyata bisa ketemu temen-temen yang bijak atau ga pembicaraannya berfaedah gitu ga hanya seputar kabar, gossip, film atau obrolan ringan yang cuma basa-basi. Kita ngobrolin tentang sistem perekrutan dosen yang kebetulan emang lagi ramai di jagad twitter.

Ada thread menarik dari Mba Mona @nmonarizqa yang luar biasa panutan. Beliau menganalisis nilai-nilai dari pendaftar CPNS dosen dan dibandingin normalitasnya sama pelamar CPNS formasi lain. Suprisingly, normalitas di tes SKD (macem tes tertulis gitu) di pelamar dosen dan pelamar formasi lainnya sama-sama normal, tapi di tes wawancara pelamar dosen justru tidak terdistribusi normal. Maaf kalau salah interpretasinya, selengkapnya bisa baca thread si tetehnya selengkapnya di sini.

Nah.. awalnya isu ini memang ramai karena ada pelamar formasi dosen yang bilang kalau nilai pas wawancaranya kecil sekali, disamping itu ada kandidat yang nilai saat wawancara besar banget. Setelah dicek, ternyata pelamar tersebut memang sudah lama jadi dosen di univ yang buka lowongan ini.

Sebenernya, cerita lama sih. Salah satu alasan pribadi gak memilih jadi asisten dosen setelah lulus ya karena lihat kakak-kakak yang dari awal masuk sampe gw udah lulus masih juga jadi asisten. Perjalanan buat jadi dosen tetap apalagi di PTN pastinya panjang dan berliku, kudu sabar banget gitu. Gak jarang juga denger cerita dosen muda yang ga diangkat-angkat, bahkan sekarang mah denger dari pengalaman temen sendiri. Di satu sisi, tentunya kita dukung mereka yang sudah banyak berkontribusi biar dapat posisi tetap tersebut karena mereka memang lebih dari layak. Tapi di sisi yang lain, kalau memang layak kenapa kandidat lain harus sampai dijatuhkan nilainya? kan mestinya bisa ya bersaing dengan sehat, ini sih yang sangat disayangkan.

Jadi, apa ini salah orang dalam? Hm, dulu gw sangat sensi sama yang namanya anak guru. Karena ada satu oknum, gw jadi menggeneralisir kalau anak guru pasti dapat perlakuan spesial di nilainya. Terus kayak mikir kenapa anaknya sekolah di tempat yang sama, apa gabisa di sekolah yang lain? Padahal kan ga semua anak guru seperti itu. Ini gw baru sadar setelah Ibu gw jadi guru dan adek gw juga jadi muridnya, dimana gw liat sendiri perjuangan dia, dan kadang sebagus apapun prestasinya juga tetep aja dibilang karena anak guru, haha.

Temen gw bilang, jadi dosen bukan sekedar intelektual aja, tapi juga integritas. Nah integritas itu apa bisa dilihat dengan test atau wawancara yang ga sampai 24 jam? Jawabannya sudah tentu tidak. Ini gw rasain juga di lingkungan akademik, memang kebanyakan rekrutmen itu ya dari Ibu A percaya sama Ibu B terus Ibu B merekomendasikan Anak C, maka Ibu A akan percaya sama anak C sebanyak dia percaya sama Ibu B. Karena ya kepercayaan emang sepenting itu, kebanyakan sudah kerja bareng tahunan dan sudah hapal karakter masing-masing. Temen gw juga bilang, bisa dapet kepercayaan itu juga sebuah skill yang gak gampang, dan gw setuju.

Tapi bukan berarti juga anak-anak baru, freshgraduate yang melamar ke posisi itu automatis dibilang ga punya integritas. Mereka juga berhak buat dapat kesempatan yang sama untuk membuktikan kalau mereka sama layaknya, bahkan mungkin lebih layak karena lebih update terkait perkembangan ilmu. Menurut gw, baiknya ada jalur yang berbeda buat rekrutmen posisi dosen yang memang sudah lama berkiprah di almamater, dibedakan sama jalur untuk calon-calon dosen muda. Sehingga anak-anak muda gak cuma jadi justifikasi atau pembanding aja untuk posisi yang sebenarnya sudah ada yang punya. Gw percaya ini udah diterapin di sebagian univ, mudah-mudahan kedepannya makin banyak yang menerapkan ini, karena dari mana lagi kejujuran dan pemenuhan hak yang adil dimulai kalau bukan dari bangku kampus.